MaHe Update

Penulis Ngehe

 
Selasa, 01 Juni 2021

MENYERAH DI TANGAN AYAH

“AYAH BILANG FOKUS! KAMU LAMBAN 5 DETIK!” Herman melempar helm ke arah Didi. Anak keduanya itu gemetar ketakutan sehingga tidak dapat menghindari helm yang dilemparnya. Didi meringis kesakitan. “Besok pertandingan kamu. Kalau sampai kalah, tidak ada lagi izin-izin kamu keluar rumah!” Herman kemudian keluar arena balap dan meninggalkan anaknya. Didi mengambil helm yang dilempar ayahnya, ia kemudian berjalan menuju ruang ganti baju. Waktu sudah menunjukan pukul lima sore.


Setelah berganti baju, Didi menelpon Ayumi, kakaknya. “Hi kak, lagi sibuk?” Didi menyapa kakaknya dari balik telpon genggamnya.


“Hi Di, kakak mau meeting nih sebentar lagi. Ada apa?” terdengar suara Ayumi.


“Besok final balapku, kak.”


“Oh besok ya? Jam berapa? Tadi gimana latihannya bersama ayah?”


“Iya, besok jam 3 sore. Latihan tadi aku lamban 5 detik. Seperti biasa, ayah marah” suara Didi mengecil, terdengar samar-samar isak tangisnya.


“Di, kakak sudah bilang berkali-kali, kalau kamu memang tidak mau jadi pembalap, pergi saja dari rumah. Tinggal bersama kakak. Pilih universitas seni yang kamu mau. Kakak yang akan membiayai.”


“Aku sayang ayah, kak. Aku tidak mungkin meninggalkan ayah.”


“Emang ayah sayang kita? Buat ayah, anak adalah alat untuk memenuhi obsesi dia biar ada yang jadi pembalap juga kayak dia!” Ayumi meninggikan nada bicara. Didi diam mendengar luapan emosi kakaknya, luapan yang sering ia dengar, luapan yang membuat kakaknya memilih keluar rumah dan indekos agar hidupnya tidak lagi diatur-atur ayahnya.


“Kak, aku besok tetap akan bertanding. Pertandingan terakhir. Maafkan aku ya kalau ada salah. Besok kakak tidak perlu menonton, biar ayah saja” Didi kemudian menutup telpon tanpa menunggu reaksi kakaknya.


Dalam perjalanan pulang ke rumah, Didi mengingat lagi masa kecilnya. Masa kecil yang seharusnya ramai oleh pertengkaran Didi dan Ayumi kecil namun yang terjadi adalah pertengkaran ayah dan ibunya yang disebabkan oleh kecintaan masing-masing. Jika ibu-ibu lain akan senang hati menghabiskan waktu dirumah bersama anak-anaknya maka ibu Didi lebih senang menghabiskan waktu di depan lukisannya. Pun sama seperti ayah Didi, jika ayah-ayah lain mencari uang untuk kehidupan keluarganya maka ayah Didi mencari uang agar mesin motor balapnya terus menyala. Hal tersebut terus menjadi akar permasalahan rumah tangga dan berakhir setelah ibunya memutuskan menggantung diri di ruang lukisnya setelah lukisan-lukisan yang paling ia cinta dibakar habis oleh ayahnya.  Ayahnya kepalang emosi setelah tahu ibunya memartil motor balap miliknya hingga penyok.


Kematian ibu dan berakhirnya pertengkaran orang tua tidak membuat Didi dan Ayumi memiliki kehidupan yang lebih baik. Hingga dewasa, Didi dan Ayumi tidak pernah memiliki hubungan yang harmonis dengan ayahnya. Ayahnya bertambah tua dengan sifat yang pemarah. Ayahnya semakin membenci dunia seni dan menganggap seni akan membuat orang menjadi gila. Sayangnya darah seni istrinya mengalir deras dalam tubuh Ayumi dan Didi namun ketertarikan mereka dalam bidang seni tentu dihadang oleh ayahnya dan dibelokan ke dalam dunia balap.


Ayumi berhasil lolos dari paksaan ayahnya dan berkarir di bidang yang ia mau namun Didi tetap di rumah. Dia anak laki-laki satu-satunya yang diharuskan untuk terjun ke dunia balap motor mengikuti jejaknya. Ayahnya pernah berkata “Buat apa jadi pelukis? Duit nol, gila iya!” saat Didi mengatakan ia ingin berkuliah di Institut Seni. Didi tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa lolos dari ayahnya. Ketika ayahnya tahu ia diam-diam bolos berlatih balap untuk ikut kelas melukis, ia dipukuli dan alat lukisnya dibakar. Didi sebenarnya bisa untuk kabur dari rumah namun ia tidak sampai hati untuk meninggalkan ayahnya sendirian. Hal itu menyiksanya selama ini. Ia merasa siksaan itu akan berakhir ketika ia atau ayahnya telah tiada.


Pada malam hari sebelum pertandingan, Didi menghampiri ayahnya yang sedang mengecek motor yang akan digunakan untuk pertandingan besok.


“Yah, yang ayah mau hanya kemenangan kan? Juara berapa?”


“Pertanyaan macam apa! Ayah cuma mau kamu juara satu.”


“Kalau aku juara satu, ayah bahagia?”


“Tentu.”


“Apa ada hal lain yang membuat ayah bahagia?”


“Tidak ada, ayah hanya akan bahagia jika kamu menang. Berusahalah!”


“Iya, yah,” Didi membalikan badan dan kembali ke kamarnya.”


Sebelum tidur, Didi menatap sekeliling kamarnya. Ia pandangi foto keluarganya, foto yang diambil ketika ia berumur 3 tahun dan Ayumi berumur 5 tahun. Didi juga memandangi foto ibunya. Diusaplah foto berbingkai itu dengan jarinya. “Didi ketakutan bu,” Didi menangis seraya memeluk foto itu. “Didi mau melukis, seperti ibu,” isak tangis Didi semakin kencang.


Keesok harinya, Didi telah siap diatas motor. Baju balap dan helm telah melekat di tubuhnya. Ayahnya berada pada bangku penonton. Ayumi yang secara diam-diam datang juga berada di bangku penonton, tiga baris di belakang ayahnya. Seketika Ayumi ingin memeluk adiknya sebelum adiknya tancap gas namun hal itu tidak mungkin ia lakukan.


Pertandingan dimulai. Memasuki lap kelima Didi berada di posisi keempat. Ayahnya terlihat meradang sedangkan kakaknya terlihat semakin tidak tenang. Ayumi tidak mengerti kenapa sedari tadi ia tidak nyaman, yang pasti bukan disebabkan posisi Didi dalam pertandingan. Memasuki lap kedelapan Didi naik ke posisi dua. Pertandingan tinggal dua lap lagi, ayah Didi mengeluarkan sumpah serapah sedari tadi. Memasuki lap terakhir dan saat akan mencapai garis finish, Didi berhasil berada di posisi pertama dan memenangkan pertandingan. Didi kemudian membuka helm dan melakukan selebrasi lap seperti yang biasa dilakukan pemenang balap motor. Anehnya Didi membuang helmnya ke pinggir dan mengambil sapu tangan putih yang ia ikat ke stang motor sebelum pertandingan.


Didi kemudian mengibarkan sapu tangan itu ke atas dan melihat ke bangku penonton. Ia mencari ayahnya dan menatap mata ayahnya setelah menemukanya. Didi tidak berkata-kata, ia hanya mengibarkan sapu tangan putih itu sebagai suatu tanda. Tangan Didi kembali ke stang motor dan kembali tancap gas dalam-dalam, pertandingan telah selesai namun Didi tetap memutari sirkuit. Ia kembali melajukan motornya secara kencang tanpa memakai helm. Setelah satu putaran, Didi semakin tancap gas, namun ia melenceng dari sirkuit, motornya yang sedang melaju kencang ia arahkan ke pembatas beton di samping sirkuit.


BRAK!! Motor Didi menabrak pembatas beton dan tubuhnya terpelanting jauh. Dalam minimnya kesadarannya, mata Didi dengan samar melihat seorang laki-laki dan berempuan berlari menghampirinya. Ia yakin itu ayah dan kakaknya. Dengan semakin melemahnya tubuhnya, ia mengayunkan sapu tangan putih itu ke arah ayahnya. Ayahnya langsung memeluk tubuh Didi.


“Maaf yah, aku menyerah. Bendera putih sebagai simbol menyerahnya aku. Bendera ini harus aku keluarkan sekarang, aku menyerah dan ingin bebas. Aku rasa aku sudah cukup umur untuk menentukan hidupku. Pertandingan dan kemenangan terakhir ini untuk ayah. Selanjutnya aku akan melukis bersama ibu di luasnya langit.”


Didi menutup mata.


By, Reilla Dwantara Sukma


Chat MinHe