MaHe Update

Penulis Ngehe

 
Kamis, 03 Juni 2021

Bagaimana Kawan Kami, Syafiin Mansyur, Mati dan Dilupakan

Dia mengatakan kepada saya, dengan air muka penuh binar, bahwa ia akan menjadi orang pertama yang merentangkan sang saka merah putih di puncak Everest. Ambisi itu ia lontarkan di pertengahan 1989, lima tahun sebelum tim Angkatan Darat melakukan ekspedisi pertama ke Everest dan pulang dengan kegagalan, atau sekitar tujuh tahun sebelum keberhasilan Clara Sukmawati menjejakkan kaki di ujung tertinggi muka bumi.


Tapi sejarah tak pernah mencatatkan namanya. Dalam buku berjudul “Mereka yang Berpetualang ke Tempat-tempat Asing untuk Ibu Pertiwi”, yang disusun secara acak oleh orang-orang tak kompeten, dan saya temukan di lorong gelap di perpustakaan kota, namanya tak tercatat bahkan di lembar persembahan.


Orang-orang senang menulis mereka yang berhasil, tapi tak punya minat memberi ruang pada mereka yang gagal. Syafiin Mansyur, kawan saya yang punya nyali sekeras kulit badak itu, memang meregang nyawa bahkan sebelum berangkat. Tapi percayalah, kecintaannya terhadap Indonesia—atau katakanlah Nasionalisme jika kau seorang yang senang menggunakan istilah-istilah rumit—tak mungkin tertandingi siapa pun, bahkan oleh tentara satu kompi, ditambah petugas  upacara rutin di Sekolah Negeri.


Tak ada yang tahu bahwa, untuk mengumpulkan dana transportasi dan akomodasi sebelum ke Everest, ia menjual seluruh warisan dan membongkar tabungan seumur hidup. Dan hasilnya? Ia mampus terlindas truk saat hendak menyeberang dari  Kampus ke Jaipuri Taylor, kios konveksi yang dimiliki seorang Batak kambuhan.


Usianya 27 lewat dua bulan, saat kepala truk berwarna kuning sukses mencium kening dan berhasil meloloskan nyawanya. Di akhirat mungkin ia bergabung di Klub 27, bersama Jim Morrison, Janis Joplin, Jimi Hendrix, dkk. Tapi itu tak penting lagi. Yang terpenting sekarang, sebelum saya menyusul kematiannya, izinkan saya menceritakan kepadamu bagaimana Syafiin Mansyur mati. Ini adalah sejarah tersembunyi, dan sebagaimana benda-benda tersembunyi, ia luput dari pandangan siapa pun dan mustahil untuk melakukan verifikasi data.


Siang itu, Bandung diguyur gerimis. Tidak seperti sekarang, pada periode akhir 80-an kota ini sangat dingin hingga mampu membuat pipimu memerah—meski tanpa bantuan hujan. Jalanan menjadi lembab dan licin, hingga-hingga seekor tupai yang lincah sekalipun bisa terjerembab di sana. Ini bukan hiperbola, atau pengandaian yang berusaha dilebih-lebihkan. Hiperbola hanya mungkin dibuat oleh pendongeng ecek-ecek, dan saya bukan bagian dari mereka. Jika kau sedikit teliti, sebetulnya peribahasa “Sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu jatuh juga,” adalah hasil modifikasi dari “Sepandai-pandainya tupai melompat, sekali melintas jalan Bandung akan jatuh juga”. Tapi untuk keperluan universalisme dan relevansi di tiap-tiap daerah, peribahasa itu sampai kepada telinga kita dalam versi yang agak lain.


Oke, saya sudah terlalu jauh melantur. Kali ini, saya akan mengisahkan detik-detik kematian Syafiin Mansyur, secara runut.


Siang itu Bandung diguyur gerimis, kami menahan gigil bersama-sama di kantin kampus. Tapi Syafi’in Mansyur, dengan gairah menyerupai pengantin yang baru saja mengunyah torpedo kambing, bersungut-sungut kepada dua orang juniornya di kampus. Perkaranya sepele saja, soal siapa yang sudi mengambil bendera ke Jaipuri Taylor.


“Jam dua belas si Batak kambuhan itu bakal pergi memancing, dan kiosnya akan tutup sampai lusa. Sementara, malam ini aku berangkat.”


“Ya santai, lah, Kang,” Afif Botak menadahkan tangannya ke luar kantin, “Lihat, nih, masih hujan.”


“Aku bakal menerjang badai salju sebentar lagi, dan kau masih mengeluh soal gerimis?”


“Salju dan gerimis itu dua hal yang berbeda, lho, Kang,” Agus gondrong menimpali. “Gerimis bikin salesma.”


Saya terkekeh. Bahkan di saat-saat semacam ini, Syafiin Mansyur masih sibuk mengurus detail-detail yang tak perlu. Seolah-olah, secarik bendera akan berhasil melenyapkan ancaman beruang kutub atau serigala, hingga ia tak rela berangkat tanpanya.


“Memang enggak bisa beli di jalan saja, Kang. Di Jakarta pasti banyak, tuh.”


“Ini beda, kawan. Aku membuatnya dari kain satin kualitas jempolan. Kalau beli jadi, agak sulit mencarinya,” Syafiin menjawab pertanyaan Afif Botak, dengan cara menyerupai seorang pedagang meyakinkan pembeli. “Kau tanya-tanya, mau berangkat, Fif?”


Afif Botak menggelengkan kepala.


Tak ada lagi percakapan setelahnya. Ada jeda panjang yang menggantung di udara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, kecuali Syafi’in Mansyur, yang terus menengadahkan kepalanya ke arah langit. Barangkali ia sedang menghitung jumlah hujan yang turun mengguyur bumi, atau mungkin begitulah caranya melipat kebosanan.


Orang-orang melintas, dengan memeluk perut sendiri, untuk mengusir dingin. Sebagian menggesek-gesek telapak tangannya, seperti ketika nenek moyang pertama kali membuat api Dengan batu. Ibu kantin datang ke meja kami, dengan hidangan empat gelas bandrek dan gorengan yang baru saja diangkat dari wajan.


Di udara, suara Adzan duhur berkumandang. Gerimis belum tiris. Rintiknya yang menghantam atap menggubah suara merdu, ritmis. Syafi’in Mansyur bangkit dan pergi, tanpa suara. Ke arah Mushola kampus ia melangkah. Memang, di antara kami, hanya ia yang masih tertib beribadah.


“Kau kenapa, sih, tak mau menuruti permintaan Syafi’in Mansyur?” saya segera menembak mereka berdua.


Afif Botak menadahkan tangannya ke luar kantin, seperti mengulang jawaban, “Lihat, nih, masih hujan”.


Saya hanya tertawa. Kemudian, kami kembali tenggelam pada lamunan masing-masing.


Dua orang lelaki yang sejak tadi berteduh di aula, bangkit dan berlari. Disusul oleh tukang parkir, kemudian oleh seorang pedagang buah, dan orang-orang yang baru menyelesaikan shalat berhamburan ke luar.


Saya menatap mata Afif Botak, Afif Botak bergantian menatap mata Agus Gondrong, sementara Agus Gondrong tak menatap apa-apa, sebab potongan rambut menutup celah matanya. Kami bangkit, berdiri, lalu segera berlari—meski tak tahu apa yang sedang terjadi. Kami mengekor langkah kerumunan.


Satu truk besar berhenti menghalangi jalan. Seorang sopir berdiri, dengan raut muka yang penuh penyesalan. Orang-orang segera menanyainya, satu demi satu.


Jenazah telentang di pinggir jalan, tubuhnya ditutup oleh koran, meski darah telah merembes ditambah air hujan. Kami menyibak kertas lusuh itu, dan menemukan wajah Syafi’in Mansyur di sana. Ada kebimbangan di mata kami.


Segera, Saya mengitari truk itu, mencari-cari hingga ke kolong yang tak terjangkau, demi mencari tongkat Syafi’in Mansyur, tapi naas tak saya temukan di mana


Sejak awal, saya tak mendukung keberangkatannya ke Everest. Kondisi kakinya yang pincang membuat kami tak yakin. Tapi, sebagaimana yang telah saya katakan kepadamu sebelumnya, Syafiin Mansyur punya nyali sekeras kulit badak, dan kecintaannya kepada tanah air tak mungkin tertandingi siapa pun, bahkan oleh tentara satu kompi, ditambah petugas  upacara rutin di Sekolah Negeri.


Begitulah cara Syafi’in Mansyur mati dan dilupakan. (*)


By, Mohammad Lutfi Maula


Chat MinHe