MaHe Update

Penulis Ngehe

 
Jumat, 04 Juni 2021

DEMI BERKIBARNYA BENDERA DUA WARNA

Udara Surabaya pagi ini sangat sejuk. Langit masih sedikit gelap, matahari belum menampakan diri seutuhnya. Dari beberapa hari lalu cuaca Surabaya sedang tidak menentu, di pagi hari langit mendung namun sejam kemudian berubah menjadi sangat terik dan sejam kemudian lagi kembali menjadi mendung. Di teras rumah, Narsimah menimang-nimang bayinya yang baru berumur 10 bulan. Hartono, suami Narsimah sedang berbincang dengan beberapa pemuda di pekarangan rumah mereka. Meskipun hari belum terlalu terang namun Narsimah dapat melihat kegundahan hati suami dan para pemuda itu. Samar-samar Narsimah mendengar suaminya mengatakan “Tidak sudi saya Belanda kembali, saya rela menyerahkan nyawa sekalipun asal mereka benar-benar pergi!” Narsimah menghentikan timangannya, ia pandangi bayinya. Ucapan suaminya membuat Narsimah begidik, ia tidak mau membayangkan bayi mungil yang telah lama ia nanti itu menjadi yatim dalam waktu dekat. Tidak lama matahari mulai terlihat meskipun ditutupi awan mendung, kumpulan pemuda telah bubar dan suaminya menghampirinya.


“Sini saya timang-timang anak kesayangan,” Hartono mengambil bayinya dari Narsimah. “Lama sekali nak kau datangnya. Bapak ibu sudah lama menanti,” Hartono menciumi pipi anaknya. Bayi itu tersenyum saat kumis tipis bapaknya menyentuh pipinya.


“Mas, hari ini jadi pergi? Sepertinya cuaca hari ini akan buruk,” jari Narsimah menunjuk langit. Ia sangat berharap suaminya tetap di rumah, menemani ia dan bayinya.


“Langit akan cerah hari ini, semesta akan mendukung perjuangan arek-arek Suroboyo! Meskipun hari ini datang badaipun saya tetap berangkat. Belanda datang lagi Nar. Saya tidak sudi kemerdekaan kita direnggut lagi.”


Narsimah diam dan menundukan kepalanya. “Bayi kita baru berumur 10 bulan, mas.”


“Nar, saya bisa memahami kegelisahanmu. Tidak ada masa yang paling membahagiakan selain saat ini. Saya punya istri yang cantik dan baik sepertimu, saya juga sudah memiliki penerus yang lucu ini. Hidup saya sedikit lagi sempurna.” Hartono kembali menciumi anaknya.


“Hal apa lagi yang bisa membuat sempurna seutuhnya?”


“Kemerdekaan yang penuh. Jika negara ini benar-benar merdeka dan Belanda sepenuhnya enyah maka disitulah baru saya bisa menyebut hidup saya sempurna.”


“Kau berkali-kali hampir tak kembali. Hidup saya selalu dalam kekhawatiran sejak saya masih gadis, kemudian menjadi istri, hingga sekarang menjadi seorang ibu. Hidup saya selalu dihantui kematianmu.”


“Mati itu pasti Nar. Yang tidak pasti adalah kemerdekaan sejati tanpa adanya usaha hingga mati.”


“Boleh sekali ini saja saya melarangmu pergi?” Narsih menggenggam lengan suaminya erat.


“Nar, hari ini saya pergi hanya untuk menggertak Belanda. Kali ini perlawanan kita melalui perundingan. Tenang, kali ini saya pergi bukan untuk berperang seperti biasanya. Arek Suroboyo berramai-ramai datang hanya untuk menggertak sebagai dukungan semangat untuk perundingan.”


Narsimah paham betul bahwa suaminya sangat sulit sekali untuk dilarang. “Baiklah, pesanku hanya hati-hati saja. Jika perundingan hari ini berhasil, saya akan masak makanan kesukaan kamu nanti malam. Sini bayinya, sudah waktunya dia menyusu.”


Hartono mengangguk dan menyerahkan bayinya pada dekapan Narsimah, ia kemudian pamit untuk pergi.


Setibanya di hotel Yamato, Hartono melihat ke atas hotel yang mengibarkan bendera Belanda. Amarah melanda dadanya. Di luar hotel telah ramai para pemuda Surabaya yang menanti hasil perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Hartono kemudian menemui teman-temannya.


“Bagaimana situasi di dalam?”


“Wah kacau Har. Perundingan sedang berlangsung dari tadi. Mungkin sedang alot. Kami menduga tidak ada hasil memuaskan dari dalam.”


“Jenderal Soedirman masih di dalam kan?”


Para pemuda lain mengangguk. Hartono kemudian ditarik paksa oleh seorang temannya.


“Joko, ada apa ini! Kenapa main tarik saja!” Hartono menghempaskan tangan temannya yang mencengkeram lengannya.


“Har, nanti kau dan aku yang naik ke atas!” teman Hartono berkata sambil setengah berteriak karena ramainya para pemuda yang menyanyikan lagu-lagu perjuangan.


“Untuk apa? Kenapa saya?”


“Kau dan aku yang dipercaya para pemuda. Tugas kita hanya untuk merobek bendera biru itu,” teman Hartono menunjuk bendera Belanda. “Setelah itu kita turun!”


“Joko, saya sudah berjanji kepada istri saya bahwa hari ini saya hanya datang dan tidak mengambil risiko apa-apa.”


“Har, hanya memanjat har. Anggap saja kita hanya akan nyolong mangga tetangga. Masa perang bawa pistol berani tapi manjat ke atap saja takut.”


“Baiklah. Kita robek warna biru busuk itu, kemudian turun!” semangat Hartono tiba-tiba membara.


Dua jam kemudian para perunding dari pihak Indonesia keluar dari hotel. Dari wajah yang ditampilkan tampak jelas bahwa perundingan mengalami kegagalan. Para pemuda mulai marah dan mulai membakar beberapa titik di depan hotel, sedangkan Joko dan Hartono mulai memanjat bangunan dari samping gedung hotel.


Setelah sampai di atas, Joko segera melepas bendera dari tiang dan menyerahkan kepada Hartono. Hartono kesulitan untuk merobek karena ia tidak membawa alat apapun seperti gunting. Ia kemudian merobek bagian yang berwarna biru dengan giginya. Setelah berhasil terobek, Joko memasangnya kembali. Di bawah terlihat para pemuda Surabaya semakin tersulut, huru hara yang ada disebabkan rasa amarah karena gagalnya perundingan dan semangat yang tersulut karena melihat bendara merah putih kembali berkibar.


Beberapa ledakan kecil mulai terdengar. Terlihat asap membumbung tinggi di depan dan samping hotel. Saat Hartono dan Joko akan turun, ledakan terjadi di samping hotel, ledakan itu  menggoyahkan pijakan kaki Joko dan Hartono. Kemudian terjadi ledakan yang sedikit lebih besar, ledakan tersebut membuat kaki Hartono tergelincir dan akhirnya jatuh dari atas gedung.


------------


Memasuki akhir tahun 2010, seorang kakek-kakek menggandeng cucunya keluar lobi hotel. Kakek itu mengajak cucunya duduk di bangku taman di depan hotel.


“Kek, dari sekian banyak hotel di Surabaya, kenapa kakek mengajak aku menginap di hotel ini?”


“Kamu kan suka pelajaran sejarah. Coba beri tahu kakek peristiwa sejarah Indonesia apa yang terjadi di Surabaya?”


“Aku paling suka kalau guru sejarah aku cerita tentang peristiwa perobekan bendera Belanda di hotel Yamato, kek” cucu itu berbicara dengan semangat.


“Kenapa suka peristiwa itu?”


“Karena keren, kek! Heroik banget pemuda yang berani naik ke atas dan merobek warna birunya.”


“Kamu tahu tidak, sekarang kamu sedang duduk di depan hotel tersebut?”


“Hah? Hotel Majapahit ini dulunya hotel Yamato?”


“Ya betul.  Dan apakah kamu tahu siapa pemuda yang merobek bendera itu?” cucu kakek tersebut menggeleng


“Salah satu dari dua pemuda yang merobek bendera dengan giginya itu adalah ayah kakek. Buyutmu. Waktu itu kakek berumur 10 bulan ketika ayah kakek merobek bendera itu dan kakek tidak pernah lagi bertemu dengannya karena setelah bendera Indonesia kembali berkibar dan ayah kakek hendak turun, ia terpeleset jatuh dan meninggal. Itulah kenapa kakek membawa anak-anak dan cucu-cucu kakek menginap di hotel ini. Untuk mengenang keberanian buyut kalian.”


By, Ayu Novianti Putri


Chat MinHe