Pesawat yang ditumpangi Rayana baru saja mendarat di bandara internasional Sardar Vallabhbhai Patel, India. Rayana bersiap turun dan mengecek kembali barang bawaannya. Tas besar yang berisi kamera dan peralatan lainnya telah bersandar di punggungnya. Tugas dari kantor kali ini untuk meliput festival layangan internasional di Gujarat, India, membuatnya sangat bersemangat.
Festival layangan akan diadakan dalam beberapa jam lagi. Rayana segera menuju hotel untuk menyimpan barang bawaannya kemudian langsung menuju daerah Ahmedabad, tempat festival layangan diadakan. Setelah sampai di lokasi festival, mata Rayana berbinar melihat berbagai layang-layang yang indah telah melambung tinggi diatas. Rayana telah lama menunggu kesempatan untuk datang ke festival bernama Uttarayan ini. Festival ini diadakan setiap tanggal 14 Januari, pada masa Makar Sakaranti atau hari panen. Rayana kemudian mempersiapkan kameranya dan segera membidik apapun yang terlihat menarik.
Berbacam foto indah telah ia peroleh. Lensa kamera Rayana terus membidik, namun lensa itu terhenti ke salah satu layangan bergambar bendera Indonesia yang sedang terbang tinggi, jari Rayanan tidak segera menekan tombol bidik, ia malah memalingkan kameranya dan melihat langsung layangan itu dengan mata kepalanya sendiri. Rayanan kemudian melihat sekeliling untuk mencari siapa pemilik layangan tersebut. Mata Rayana menemukan pemilik layangan yang ternyata adalah seorang laki-laki muda. Rayana memerhatikannya dari jauh dan berjalan menghampirinya.
Dalam sekejab, ingatan Rayana kembali saat ia berumur enam tahun. Ia sering bermain layang-layang bersama teman-teman di lingkungan rumahnya. Saat ia dan teman-temannya bermain layangan di sore hari, selalu datang anak laki-laki dari luar lingkungannya. Anak itu sangat pendiam dan menerbangkan layangannya sendirian. Layangan anak itu selalu bergambar bendera, jika hari ini ia membawa layangan bergambar bendera Indonesia, maka keesokan harinya ia membawa layangan bergambar bendera Inggris atau Amerika atau bendera negara-negara lain.
Anak laki-laki itu ternyata bisu. Keterbatasan kemampuan komunikasi membuat anak laki-laki itu enggan mendekati Rayana dan teman-temannya. Rayana tertarik dengan anak laki-laki itu sehingga ia mencoba mendekatinya dan mengajak berkomunikasi melalui kertas dan pensil yang ia bawa dari rumah. Sejak saat itulah, Rayana akrab dengan anak laki-laki bisu bernama Oka tersebut. Oka hanya dapat bermain dengan Rayana karena anak-anak lain tidak mau bermain bersama anak berkebutuhan khusus seperti Oka.
Kedekatan Rayana dan Oka tidak bertahan lama karena Oka kemudian di bawa orang tuanya untuk berpindah tempat tinggal. Di hari terakhir bertemu dengan Rayana, Oka menuliskan ucapan terima kasihnya karena Rayana telah bersedia menjadi temannya selama beberapa bulan terakhir, Oka juga memberikan sebuah layangan bergambar bendera berwarna saffron, putih, dan hijau dengan suatu lingkaran kecil di tengahnya. Rayana kecil belum mengerti bendera negara manakah itu.
Tersadar dari ingatan masa kecilnya, Rayana kemudian menepuk pundak laki-laki muda itu. Setelah melihat wajah laki-laki itu, Rayana yakin bahwa orang itu adalah Oka dewasa. Rayana kemudian bertanya apakah nama laki-laki itu Oka, laki-laki itu mengangguk dan menunjukan wajah heran. Rayana mengenalkan diri dan mencoba mengingatkan Oka tentang dirinya menggunakan bahasa isyarat. Oka kemudian menitipkan benang layangannya kepada teman disebelahnya agar dapat fokus berbincang dengan Rayana. Dalam bahasa isyarat, Rayana mengatakan:
“Saya Rayanan, teman main layang-layang waktu kamu kecil dulu.”
“Oh iya, saya ingat. Apa kabar? Ikut festival ini juga?”
“Baik. Kamu apa kabar? Saya sedang meliput festival ini, pekerjaan kantor.”
“Saya baik juga. Nanti malam ada waktu? Setelah festival bisa makan malam dengan saya?”
Rayana mengangguk kemudian berpamitan dan menyerahkan kartu namanya kepada Oka.
Pada malam hari, di restoran yang telah ditentukan, Rayana bertemu dengan Oka. Setelah memesan makanan dan minuman, mereka berdua mulai membuka obrolan. Dalam ramainya restoran, Rayana dan Oka saling berbincang dengan heningnya Bahasa isyarat.
“Saya kira kita akan tetap mengobrol dengan pensil dan kertas. Kenapa kamu sekarang sangat fasih berbahasa isyarat?” Oka memulai obrolan dengan memberikan senyuman.
“Saya pernah menjadi guru di sekolah luar biasa, jadi tentu saya harus bisa berbahasa isyarat.”
Oka mengangguk. “Lalu sekarang beralih menjadi jurnalis?”
“Iya, sudah tiga tahun saya menjalani profesi ini. Kamu bagaimana? Setelah perpisahan kita dulu, saya tidak pernah lagi mendengar kabar kamu. Dan sekarang ajaibnya, kita bertemu di belahan bumi yang lain.”
Oka tertawa, “Waktu itu, keluarga saya pindah ke Malaysia. Saya kemudian sekolah dan tumbuh besar disana. Andaikan saya bisa berbicara, kamu pasti akan mendengar logat melayu saya.” Oka kembali tersenyum. Rayana menikmati senyum itu, bagi Rayana senyum Oka dewasa sama manisnya dengan senyum Oka kecil yang masih ia ingat hingga saat ini. Senyum Oka seperti sihir bagi Rayana, senyum itu membuatnya terbius.
Oka menyentuh lengan Rayana, ia berkata “Kenapa melamun? Apakah gerakan saya tidak kamu pahami?”
Rayana menggeleng, “Oka, saya mau bertanya. Masih ingat layang-layang bergambar bendera yang kamu beri kepada saya dulu?”. Oka mengangguk. “Kenapa bendera India?”
Oka tersenyum. Lagi-lagi Rayana merasa tersihir.
“Karena saya berharap suatu saat bisa bertemu kamu lagi dan bermain layang-layang bersama di festival tadi. Betul kan, harapan saya terwujud, kita bertemu di festival Uttayaran tahun ini meskipun hanya saya yang bermain dan kamu foto-foto.”
Kali ini Rayana yang memberikan senyum. Rayana kembali bertanya “Boleh saya tahu, kenapa kamu sangat tertarik dengan layang-layang dan selalu menggambar bendera-bendera negara di layang-layang kamu?”
“Dunia saya sangat sepi karena saya tidak bisa mendengar apapun. Tapi saat bermain layang-layang, saya merasakan keramaian. Kulit saya merasakan ramainya sentuhan-sentuhan angin dan mata saya melihat ramainya layang-layang di luasnya langit. Bermain layang-layang sangat menyenangkan untuk orang tuli dan bisu seperti saya. Mengenai bendera, dari kecil saya selalu diajak bermain tebak-tebakan bendera negara oleh ayah saya. Dan dengan menempatkan gambar bendera di layang-layang, saya berharap agar suatu saat dapat mengunjungi negara-negara tersebut dan melihat keindahannya. Karena melihat adalah satu-satunya indra yang saya miliki untuk merasakan keindahan di dunia ini.” Oka melemparkan senyum lagi kepada Rayana. “Bagaimana kabar Jakarta? Lapangan tempat kita bermain dulu masih ada?”
Rayana menggeleng “Lapangan itu sudah berubah menjadi gedung-gedung tinggi.” Oka kemudian membalas dengan gerakan bibir yang mengisyaratkan “Ohh”. Rayana kemudian melihat cincin yang melingkar di jari manis Oka dan bertanya “Kamu datang kesini bersama siapa?”.
Oka menangkap gerakan mata Rayana yang melihat cincin di jari manisnya. “Bersama teman saya. Mengenai cincin ini, saya sudah bercerai.” Oka memainkan dan memutar-mutar cincin di jarinya. Rayana mengepalkan tangan dan memutarkan searah jarum jam di depan dadanya, gerakan yang mengisyaratkan permintaan maaf.
“Tidak apa-apa. Saya sudah tidak bersedih. Mantan istri saya sudah bahagia bersama yang lain. Dunia saya terlalu sepi untuknya. Saya tetap memakai cincin ini hanya karena ingin saja. Bukan karena masih mengingatnya.” Oka menatap mata Rayana. “Kamu sendiri bagaimana? Maaf bukan bermaksud tidak sopan. Tapi apakah sudah ada laki-laki beruntung yang memiliki kamu?”
Rayana menggeleng dan tersenyum. Makanan dan minuman pesanan mereka kemudian datang. Rayana dan Oka menghentikan obrolan sejenak dan menikmati makanan mereka. Setelah selesai makan, Rayana dan Oka keluar restoran dan saling berpamitan. Rayana berpamitan akan kembali ke Indonesia keesokan harinya sedangkan Oka berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya ke Nepal.
“Naik gunung? Everest?” Rayanan bertanya.
Oke mengangguk. Rayana kemudian terdiam. Ada perasaan hangat menjalar dalam tubuhnya. Perasaan yang tidak bisa dengan mudah disampaikan, perasaan yang awalnya ia kira hanya perasaan anak kecil yang akan terlupakan seiring bertambahnya usia.
“Kenapa? Ada yang mau kamu sampaikan?” Oka menyentuh lengan Rayana.
“Sebelum kita berpisah dan belum tentu bertemu lagi. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan” Rayana menghela nafas. “Saya senang sekali tiba-tiba bertemu kamu disini. Dulu saya sangat merasa kehilangan ketika kamu pindah rumah. Layangan dari kamu masih saya simpan, terbingkai rapi di kamar saya. Oka..” Rayana menghentikan kalimatnya. Oka mengangkat kedua alisnya yang mengisyaratkan “Iya?”. Rayana berpikir keras, ia ingin hati-hati dalam melanjutkan kalimatnya.
“Oka, jaga diri baik-baik. Saya sangat berharap bertemu kembali dengan kamu. Semoga jodoh saya nanti laki-laki sebaik kamu.” Rayana kemudian memeluk Oka dan langsung memutar badan meninggalkan Oka tanpa menatapnya.
Keesokan harinya, Rayanan meninggalkan India dengan perasaan tidak menentu. Ia masih sangat ingin bertemu Oka, Rayana bisa saja menunda kepulangannya agar bisa bersama Oka lebih lama lagi. Namun keinginan Rayana sepertinya tidak disambut baik oleh Oka karena semalam Oka tidak membalas ucapan terakhir Rayana dan membiarkan Rayana pergi. Namun paling tidak saat ini Rayana merasa sedikit lebih lega.
Tiga tahun berlalu, Rayana telah menikah dengan orang lain dan tengah mengandung anak pertamanya. Sosok Oka telah lama hilang dari ingatan Rayana, terutama semenjak Rayana menikah. Namun, sosok Oka tiba-tiba datang bersamaan dengan akan lahirnya anak Rayana. Di rumah sakit ketika Rayana sedang menanti buah hatinya, datanglah suatu paket. Rayana menerima paket tersebut dan membukanya. Didalam paket berisi satu buku harian, layang-layang bergambar bendera Nepal, dan sebuah novel yang tertulis nama Oka sebagai penulis.
Diluar paket tersebut, terdapat surat yang ditulis oleh teman Oka. Didalam surat, teman Oka menceritakan bahwa Oka telah meninggal saat melakukan pendakian gunung Everest. Menuju detik-detik kematiannya, Oka berpesan jika ada temannya yang selamat turun, ia meminta untuk mengirimkan barang-barang ini kepada orang bernama Rayana yang berada di Jakarta, Indonesia. Barang ini baru sempat dikirim sekarang karena sudah lama teman-teman Oka berusaha mencari tahu mengenai keberadaan Rayana.
Sesaat ketika Rayana akan membaca buku harian Oka, kontraksi di perutnya semakin terasa. Perawat kemudian membawanya ke ruang bersalin. Satu jam kemudian, lahirlah bayi laki-laki yang sangat tenang. Bayi itu tampak tersenyum. Senyum yang mengingatkannya kepada Oka. Tanpa berpikir panjang, Rayana berkata kepada suaminya bahwa anak mereka harus diberi nama Oka.
By, Putu Indah