Jajang anak yang baik. Ia rajin mengaji dan sangat patuh pada ibunya. Ia tidak pernah melawan dan selalu berusaha menolong orang. Sejak kecil Jajang dididik dengan disiplin oleh ibunya yang merupakan seorang perempuan sangat kaya di kampung. Kekayaan ibu Jajang disinyalir dari harta warisan yang ditinggalkan ayah Jajang 10 tahun lalu. Jajang menjadi yatim saat ia berusia 10 tahun. Kini ia telah berusia 20 tahun dan tumbuh menjadi pemuda yang tampan.
Di kampungnya, Jajang tidak memiliki teman bermain. Entah apa yang ada dalam dirinya sehingga tidak ada satupun anak-anak lain yang mau berteman dengannya. Ibu Jajang juga tidak akrab dengan para tetangga, ia terbiasa ke pasar dan berbelanja sendiri. Hari-harinya dihabiskan didalam rumah, merajut dan menjahit. Namun hasil dari rajutan dan jahitannya itu tidak pernah ia jual.
Saat dewasa, Jajang baru merasa kesepian karena setelah lulus sekolah ia tidak dizinkan ibunya untuk bekerja sehingga ia tidak memiliki teman lagi. Ibunya berkata, “di rumah saja temani ibu. Uang ibu cukup untuk membiayai kita sampai tua nanti.” Jajang yang penurut mengiyakan permintaan ibunya. Namun hal itulah yang membuatnya benar-benar kesepian.
Perasaan sepi itu kemudian membuat Jajang ingin mencoba untuk akrab dengan tetangga dan pemuda di kampungnya. Namun ternyata keinginan Jajang tidak disambut baik. Setiap Jajang menghampiri kumpulan pemuda yang sedang bermain kartu atau meronda, mereka langsung diam atau bahkan tidak menganggap kehadiran Jajang. Hal tersebut juga terjadi ketika Jajang mencoba akrab dengan para pedagang. Saat membeli dagangan mereka, Jajang berusaha untuk mengajak ngobrol namun para pedagang hanya tersenyum dan segera memberikan pesanan Jajang.
Jajang kemudian menceritakan hal tersebut kepada ibunya saat ibunya sedang merajut sebuah topi, ibunya hanya menjawab “kalau begitu tidak perlu mengobrol dengan mereka.” Jajang kemudian menjawab “tapi sampai kapan saya hidup hanya dengan ibu?” ibu Jajang kemudian melempar alat rajutnya ke lantai.
“Hanya ibu yang kamu perlukan! Orang lain tidak penting” ibu Jajang berbicara dengan nada yang tinggi. Sejak saat itu, Jajang tidak lagi berusaha untuk mengakrabkan diri dengan orang-orang di kampungnya. Ia memilih menuruti perintah ibunya.
Dua tahun kemudian, pada suatu malam Jajang terbangun tengah malam. Ia melihat ibunya merintih kesakitan di tempat tidurnya. Jajang kemudian menggendong ibunya dan membawanya ke tempat berobat di kampungnya. Alih-alih dibukakan pintu, bidan di tempat berobat itu malah mengusir Jajang dan ibunya. Jajang tidak memiliki pilihan lain, ia kemudian membawa ibunya pulang ke rumah dan memutuskan untuk merawatnya sendiri. Sepanjang di perjalanan pulang, beberapa orang yang sedang meronda berbisik-bisik dan memberikan tatapan jijik.
Jajang tidak pernah tahu apa salah dirinya dan ibunya sehingga tidak ada satupun orang di kampung mau berteman dengan mereka. Jajang merasa ia dan ibunya tidak pernah melakukan kesalahan, ibunya memang tidak akrab dengan tetangga namun ibunya tidak pernah membuat kegaduhan. Begitupun dirinya.
Tiga hari kemudian, ibunya kembali sehat dan bugar seperti tidak terjadi apa-apa. Jajang bersyukur bahwa kesembuhan ibunya tidak memerlukan bantuan bidan, ibunya hanya meminta Jajang memberinya telur mentah setiap hari. Keesokan harinya Jajang hendak pergi ke kantor pos untuk mengirimkan surat untuk teman sekolahnya. Sebentar lagi lebaran sehingga ia ingin mengucapkan selamat hari raya kepada teman-temannya. Sepanjang perjalanan, Jajang semakin melihat tatapan-tatapan aneh dari para tetangganya. Ia sangat ingin tahu apa yang orang-orang itu pikirkan. Jajang tahu bahwa ia tidak akan mendapat informasi dari orang dewasa karena mereka enggan berbicara maka ia memutuskan untuk bertanya kepada anak kecil.
Jajang kemudian duduk disebelah anak kecil yang sedang menikmati kembang gulanya. “Mau saya belikan lagi?” Jajang mencoba mengambil perhatian anak itu.
“Tidak,” anak kecil itu menjawab seadanya tanpa memalingkan wajah dari kembang gulanya.
“Kenapa?”
“Kata bapak ibu saya tidak boleh dekat-dekat dengan keluarga kamu dan tidak boleh menerima apapun.”
“Kenapa? Saya dan ibu saya tidak berbahaya.”
“Kata bapak ibu, keluarga kamu keluarga dukun, suka membunuh orang mangkanya kaya.”
“Dukun?” Jajang bingung dan kaget bukan kepalang.
“Iya.”
“Saya boleh minta tolong?”
“Saya tidak janji menolong,” anak kecil itu belum melepaskan perhatian dari kembang gulanya.
“Tolong tanyakan kepada bapak ibu mu atau kepada siapapun yang ada di kampung ini. Apa yang mereka inginkan mengenai dukun itu. Besok kita bertemu lagi disini.”
Anak kecil itu hanya diam saja. Jajang kemudian melangkah pulang, kepalanya pening memikirkan ucapan anak itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ibunya seorang dukun. Setelah ia ingat kembali, ibunya memang sedikit aneh. Ibunya tidak pernah keluar rumah untuk bekerja namun selalu memiliki uang yang lebih dari cukup. Ibunya selalu mengatakan bahwa warisan bapak Jajang sangat banyak namun seingat Jajang dulu bapaknya hanya kuli bangunan yang mati tertimpa beton. Setiap bulan, ibunya selalu izin pergi selama satu minggu. Ibunya berasalan untuk mengunjungi saudara jauh. Namun anehnya ibunya tidak pernah membawa banyak pakaian, ibunya selalu membawa tas kosong besar yang ketika kembali ke rumah tas itu berisi banyak emas. Ibunya mengatakan itu adalah buah tangan dari saudara mereka yang sangat kaya raya.
Keesokan hari, Jajang kembali menemui anak kecil tersebut. Kali ini anak kecil itu mau melihat wajah Jajang kemudian membisikan sesuatu. Tidak lama Jajang yang kemudian membisikan sesuatu ke anak kecil itu. Sebelum meninggalkan anak kecil itu, Jajang berpesan, “tolong sampaikan kepada khotib sholat ied nanti, minta Jemaah di kampung ini datang ke rumah saya setelah sholat ied.”
Tiga hari kemudian, bertepatan dengan hari lebaran, Jajang bangun pagi. Ia telah menyapu dan mengepel rumahnya. Ia tidak pernah mengikuti sholat ied karena tidak pernah di izinkan oleh ibunya. Jajang telah memakai baju terbaik, ia memakai peci dan sarung baru. Setelah sholat ied selesai, sesuai dengan arahan khatib, para Jemaah di kampungnya mendatangi rumah Jajang. Meskipun ada sedikit ketakutan namun warga memberanikan diri datang bersama-sama.
Sesampainya di depan rumah Jajang, warga terlihat sangat kaget. Terpasang bendera kuning di depan rumah Jajang. Jajang kemudian keluar rumah dengan membawa penggalan kepala ibunya. Sontak para warga yang berada di depan rumah Jajang bersorak gembira. Sambil tersenyum Jajang kemudian berkata, “telah terpasang bendera kuning yang kalian tunggu! Sekarang silahkan masuk dan ambil apapun yang kalian mau!”