MaHe Update

Penulis Ngehe

 
Rabu, 09 Juni 2021

Petunjuk Arah

Peluit dari Kak Ananta berbunyi pendek berulang kali, tanda seluruh regu harus berkumpul. Segera ku raih topi pramuka yang ada di sampingku.


“Mahika, ini hasdukmu!” kata Gantari sedikit berteriak untuk mengingatkanku.


Aku bergegas berlari keluar dari tenda menuju titik kumpul di lapangan. Setelah seluruh regu dipastikan sudah berkumpul lengkap, Kak Ananta mulai memberikan arahan. Sore hari ini, terdapat dua buah tugas yang mesti dilaksanakan. Kami harus membagi dua tim dalam satu regu agar tugas ini selesai tepat waktu. Tim masak dan tim jelajah, sudah pasti aku masuk tim jelajah bersama Vishaka dan Gantari.


Ada satu hal yang berbeda pada jelajah kali ini, kami diwajibkan memperhatikan setiap warna bendera yang berkibar di setiap persimpangan. Bendera tersebut menjadi petunjuk arah bagi kami untuk menyelesaikan misi ini. Bendera hijau untuk jalan terus, bendera kuning untuk belok kiri, dan bendera biru untuk belok kanan.


“Regu Melati, silahkan jalan.”


Komando dari Kak Ananta mengarahkan agar kami segera berjalan memulai misi. Aku melangkah dengan penuh semangat. Aku memimpin di posisi paling depan, disusul Gantari dan Vishaka berbaris di belakangku.


Tibalah kami di persimpangan yang pertama. Bendera kuning terlihat di sekitar area tersebut.


“Eh ini berarti belok kiri ya kita?”


Vishaka dan Gantari mengiyakan pertanyaanku. Sesekali kami berjalan dengan bernyanyi untuk menghilangkan rasa lelah dan menambah semangat. Tak selang lama, ternyata terdapat sebuah pos di ujung sana. Benar saja, sesampainya di pos tersebut, kami pun mendapat suatu tantangan yang harus dilewati sebelum diizinkan melanjutkan perjalanan. Kami harus mengartikan sebuah pesan yang ditulis dengan sandi rumput. Untung saja, ada Vishaka yang ahli soal sandi. Kami bisa menyelesaikan tantangan ini dengan cepat dan mudah.


Persimpangan demi persimpangan kami lalui. Pos demi pos kami lewati. Semilir angin musim pancaroba menemani perjalanan kami. Namun, entah kenapa semakin lama, angin terasa semakin kencang. Di persimpangan selanjutnya, kami tak dapat menemukan bendera apa pun. Sepertinya, bendera yang seharusnya terpasang sudah terbang terbawa angin.


“Kita ke mana ya ini?”


“Entah, gimana kalau lurus aja? Feeling-ku sih lurus.”


“Tapi nggak ada bendera hijau, kalau salah gimana?”


“Di pertigaan ini kan pilihannya tinggal lurus dan belok kiri, artinya ada peluang 50 persen kita benar.”


“Ya tapi kan ada 50 persen peluang buat salah. Kenapa nggak balik arah aja yuk?”


“Pos sebelumnya jauh banget, padahal lokasi pos berikutnya itu biasanya dekat sama persimpangan kan. Coba aja dulu.”


Perdebatan di antara kami bertiga tak terelakkan untuk menentukan langkah kami selanjutnya. Pada akhirnya, kami sepakat untuk mengambil jalan lurus. Kami terus berjalan dan berharap bisa menemukan pos selanjutnya.


Sudah lebih dari satu jam berjalan, namun masih belum menjumpai pos atau bendera yang memberi petunjuk bagi kami. Angin kencang kembali datang, kini disertai dengan rintik-rintik hujan yang deras. Kami bergegas mempercepat langkah. Sejauh 50 meter di depan kami, tampak sebuah pendopo kosong. Kami pun memutuskan untuk berteduh sesampainya di sana. Pendopo ini cukup luas, bangunannya terlihat tua dan usang tak terawat. Andai bukan karena terpaksa, kami tak akan mau bersinggah di sini. Namun, tempat ini sudah menyelamatkan kami dari badai yang datang tiba-tiba.


***


Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, namun Regu Melati belum juga sampai di bumi perkemahan. Padahal, menurut jadwal dan perkiraan waktu, seharusnya pukul 5 sore seluruh regu sudah selesai untuk menyelesaikan misi ini. Kak Ananta sudah memulai pencarian Regu Melati bersama rekan lainnya sejak satu setengah jam yang lalu. Agenda api unggun yang seharusnya digelar, terpaksa dibatalkan. Agenda diganti dengan doa bersama untuk mendoakan keselamatan dari Regu Melati yang hilang.


Sang surya sudah menunjukkan kegagahannya di ufuk timur. Namun, kabar baik belum juga datang. Seluruh orang di bumi perkemahan sedang harap-harap cemas menanti kehadiran Regu Melati. Sementara itu, regu pramuka yang lain segera dipulangkan siang ini sebab keadaan sudah tidak kondusif.


***


“Ka…Mahika, bangun!”


“Mahika…lama-lama aku siram air juga kamu!”


Suara Vishaka dan Gantari bersahutan membuatku terbangun dari tidur lelapku. Ternyata, hari sudah pagi dan matahari sudah bersinar terang. Lelahnya menghadapi hari kemarin membuat kami bertiga terlelap seketika setelah sampai di pendopo ini.


“Yuk cabut, kita jalan lagi. Jalan aja dulu siapa tahu ada petunjuk.”


Kami bertiga kembali melanjutkan perjalanan yang entah arahnya ke mana. Tapi, tujuan kami adalah bumi perkemahan. Kami sudah tak peduli lagi soal pos dan bendera. Jelajah ini seharusnya sudah selesai dari kemarin.


Di ujung jalan yang kami lalui, tampak seorang kakek yang sedang mencari rumput. Kami coba berjalan mendekatinya untuk bertanya arah menuju bumi perkemahan. Tak disangka, rumah kakek itu katanya searah dengan bumi perkemahan. Jadi, ia berkenan mengantar kami hingga dekat sana. Sesampainya di sebuah persimpangan, kakek tersebut memberi tahu jalan ke bumi perkemahan tinggal belok kiri, sementara ia harus belok kanan menuju rumahnya. Kami pun berpisah dan menghaturkan beribu terima kasih kepadanya.


***


“Mahikaaa…”


“Hah…bukankah itu mereka?”


“Puji Tuhan mereka sudah datang!”


Aku terkejut menjumpai kedua orang tuaku yang ada di lokasi bumi perkemahan. Seluruh orang berlari untuk menghampiri kami. Aku mendapat pelukan dari kedua orang tuaku. Mereka mencium keningku dan menitikkan air mata. Hal serupa juga dilakukan oleh orang tua dari Vishaka dan Gantari


“Mahika sayang, apa kamu baik-baik saja nak?”


“Iya ma, kita bertiga semalam tertidur di sebuah pendopo saat tersesat.”


“Semalam? Mama sama papa sudah menunggu di sini selama tiga hari…”


Kami saling berpandang mata penuh tanda tanya.


By, Hayuning Ratri Hapsari


Chat MinHe